string(1) "1"
✕ Close

Dampak Kebijakan Ltv, Pemanfaatan Kredit Turun 30%

adsense-fallback

Dampak Kebijakan Ltv, Pemanfaatan Kredit Turun 30%

Oleh  : Fatia Qanitat,  fatia.qanitat@bisnis.co.id

adsense-fallback

JAKARTA—Pemanfaatan fasilitas kredit dalam pembelian properti mengalami penurunan sejak pemberlakukan kebijakan tentang loan to value (LTV) atau pembatasan pembayaran uang muka diberlakukan Bank Indonesia beberapa bulan yang lalu.

 Kepala Riset Jones Lang LaSalle Anton Sitorus memperkirakan terjadi penurunan hingga 30% dalam pemanfaatan fasilitas kredit sebagai metode pembayaran pembelian apartemen atau rumah tapak.

 Menurutnya, metode pembayaran melalui kredit tetap menjadi salah satu pilihan bagi konsumen dalam melakukan pembayaran di samping secara tunai atau tunai bertahap. Karena info mengenai kebijakan LTV belum jelas, terjadi penurunan.

 “Dari sekian jenis pembayaran, yang menggunakan kredit terdapat sekitar 40% nya. Kebijakan ini cukup mempengaruhi, dan sempat membuat pasar kebingungan,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Senin (20/1).

 Jika melihat hasil riset yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Bank Indonesia, total kredit properti pada November 2013 mencapai Rp469,9 triliun, tumbuh 26,9% (year-on -year/y-o-y) atau sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan Oktober 2013 sebesar 29,4%. Perlambatan penyaluran kredit properti tersebut terutama dalam bentuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan apartemen (KPA) yang tumbuh melambat dari 30,7% pada Oktober menjadi 28,3% (y-o-y) di November lalu.

“Meskipun mulai melambat, namun pertumbuhan kredit properti masih relatif tinggi. Hal ini terkait besarnya permintaan masyarakat untuk rumah tinggal,” sebut hasil riset tersebut. Anton menilai kendati memberikan pengaruh pada awal penerapan, kebijakan tersebut tidak akan efektif dalam menahan laju investasi di sektor properti. Penurunan yang terjadi hanyalah reaksi sementara akibat sentimen pasar.

 KONDISI PEREKONOMIAN

Senada dengannya, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan dampak yang dirasakan bersifat sementara dan perlambatan bisnis properti yang terjadi saat ini lebih diakibatkan karena kondisi perekonomian secara keseluruhan.

 “Pasar hanya shock sesaat. Perlambatan yang terjadi ini menjadi bagian dari siklus properti yang sudah memasuki siklus jenuh. Pengembang juga sudah banyak mempersiapkan strategi untuk mengatasi kebijakan itu,” ujarnya.

 Di samping itu, untuk menyiasati kebijakan tersebut, banyak pengembang yang mulai melakukan pembangunan rumah tipe-tipe bawah dengan luasan 54 m2 hingga 69 m2. Karena dalam aturan yang ada, pembatasan LTV diberlakukan untuk tipe bangunan di atas 70 m2.

“Banyak rumah mewah sejenis townhouse yang dijual dengan harga di segmen menengah atas atau mencapi harga lebih dari Rp1,5 miliar. Namun, rumah tersebut dibangun dengan tipe di bawah 70 m2, sehingga tidak masuk dalam aturan LTV,” tuturnya.

 Menurutnya, aturan ini malah memberikan peluang kenaikan harga yang semu di pasar primer. Melalui strategi penjualan bergaransi pengembalian uang kembali dengan besaran tertentu, pengembang secara sengaja menaikkan harga jual sedikit lebih tinggi dari harga yang berlaku.

“Kebijakan LTV menjadi tidak efektif di tengah pasar properti yang telah memasuki siklus jenuh dan kecenderungan melambat. Pengetatan yang dilakukan akan membuat perekonomian turut melambat dan pasar menjadi semakin terpuruk,” katanya. Sedikit berbeda, Associate Director Re – sidential Sales & Leasing Colliers Alviery Akbar menuturkan pasar properti untuk apar temen masih berjalan normal dan kebijakan BI tidak terlalu berpengaruh.

 Bahkan dia memperkirakan masih ada peluang pertumbuhan harga apartemen dengan kisaran 10%-20% sepanjang tahun ini, karena minat masyarakat masih cukup tinggi. Dan, sambungnya, sistem pembayaran yang tidak melibatkan pihak perbankan dijadikan pilihan oleh berbagai pihak

adsense-fallback